Kamis, 14 Juli 2016

Tak Sekadar Produktifitas Tapi Membuahkan Karya Bermutu, Sebuah sorotan Karya Puisi Terbaik Saat ini

Memilih penyair yang betul betul penyair utuk bahan tulisan seperti yang dilakukan kritikus sebelumnya adalah tidak semata penyair itu produktif tetapi yang diutamakan adalah karya yang memberikan arti bagi pembacanya sebagai karya yang belum ada sebelumnya, memiliki masa baca yang tak terbatas kapan saja tetap enak dibaca, dan memiliki keunggulan nilai sastra, serta mampu memberikan aksi pembaca atau dampak apresiasi pembaca setelah membaca karya tersebut, disamping itu ada yang mengiyakan bahwa karya tersebut layak bacaan sastra yang istimewa.

Produktifitas penyair memang merupakan masa pencarian jati diri. Ia adalah asahan yang membuat tajam nya pena. Serigkali seseorang melupakan tantangan atas tulisan apa yang akan ditulis padahal itu proses berkarya yang telah menjadi perpaduan antar pengalaman diri, pengalaman baca, pengalaman tulisan sebelumnya dan pengalaman kegagalan masa lalu.

Akhirnya faktor kreativitas diri menentukan produk seseorang (penyair) kreativitas untuk melahirkan karya 'baru (belum ada sebelumnya) , memiliki cita rasa sebuah karya sastra bermutu, diiyakan oleh orang lain (diakui), mampu membangkitkan apresiasi pembaca, dan bila perlu bersifat universal.

Berikut sebuah karya Herlina Priyambodo :

"Menjadikanmu Separuh Jiwaku."

Menatap barisan mega dari balik kaca jendela burung besi yang melintas batas antar negara, laksana hamparan permadani empuk tempat bersenda para dewa dewi di negeri kahyangan. Begitu lembut, selembut getar yang kurasa saat menatap sempurnanya wajah Arjuna, seindah senyuman yang selalu memporakporandakan imajiku, hingga menghunjam tepat dijantung hatiku, membiarkan aku luluh dalam dekapan asmara, selembut rasa yang menyapaku perlahan dan tak ingin kutinggalkan. Hanya lidah yang tak pernah kelu, mengalunkan mantra mantra pada sang hyang maha cinta, membisikkan suara suara hati yang melantunkan ayat ayat kerinduan pada sang Arjuna. Izinkan aku membelai halusnya garis wajahmu dan menjadikanmu separuh jiwaku, Arjuna.

Dari judulnya saja seseorang langsung mengetahui maksudnya andai pembaca itu suka membaca. Puisi cinta ,puisi kekasih, puisi kisah cinta, puisi remaja, artinya banyak orang membuat seperti ini. Tetapi Herlina Priyambodo, tidaklah demikian seperti kebanyakan orang, ia membuat sesuatu yang baru yang belum pernah ditulis penyair sebelumnya. Sebuah asahan kreativitas pengalaman dan panduan karakter mumpuni dalam mengutarakan maksud. Selamat untuk Herlina Priyambodo
(rg bagus warsono, 11-7-16)

Bobot karya puisi:

Kritikus/penulis untuk mengkritisi puisi sekaligus merekam jejak penyair adalah apabila ditemukannya karya yang ,menggerigisi . Sebuah karya yang memiliki salah satu atau lebih nilai bermutu tinggi yang monumental.Patokan mutu atas karya seseorang adalah alat untuk mengetengahkan seseorang penyair dimasukan dalam klasifikasi yang dikehendaki kritikus. Jadi karya banyak dan nama besar tidak menjadi jaminan melekat dengan klasifikasi yang digagas seorang kritikus karena pertanggungjawaban itu.

Kelahiran karya puisi bermutu yang 'menggerigisi dan monumental serta memiliki nilai sastra tinggi bukanlah peruntungan nasib penyair dari anggapan publik. Sesungguhnya kelahirian puisi yang bagus adalah olahan dari tingkatan seperti profesional, mahir, atau masih konvensional maupun tradisional. Ia (puisi) dilahirkan dari tangan-tangan itu dengan pengalaman, kreativitas, kebiasaan, dan sebagainya yang mempengaruhi diri penyair tersebut. Kemudian setelah puisi itu lahir kita boleh mengatakannya akan nasib peruntungan karya itu dan tentu terkait dengan penyairnya.

Dalam dunia cipta, ditemukan mirip, tiruan, jiplak, plagiat, sadur, terjemahan, atau 'ubah kata. Hal ini menjadi pemahaman mutlak seorang kritikus. Berbagai kasus bisa terjadi, tetapi juga bisa mungkin berbagai penemuan itu dikarenakan kebetulan atau saling tak mengenal. Tetapi perlu diketahui frase bahasa Indonesia dalam KBBI serta ditopang bahasa daerah dan bahasa asing sangatlah luas untuk pilihan kata puisi. Jadi wawasan baca pun tidak saja harus dimiliki kritikus sastra tetapi juga penyair harus rajin membaca.

Dalam tulisan ini penulis akan menyoroti berbagai karya terkini puisi- puisi penyair yang sempat terbaca dari berbagai situs baca. Juga silahkan Anda mengirimkan puisi 'terdasyat untuk dikritisi semampu penulis dalam wacana belajar ini. Resiko atas kritik puisi sebetulnya tahapan pacu positif bila dipahami secara positif. Tetapi seringkali banyak penyair menilai justru negatif. Sebaliknya gaya kritikus puisi juga menjadi alasan itu. Sebab banyak orang mengaku kritikus tanpa memahami etika penulisan sehingga sering terjadi perdebatan yang tak pantas dikalangan pelaku sastra.
Mari kita lihat karya Cecep Hari Cecep Hari Cecep Syamsul Hari dalam Perahu Berlayar Sampai Bintang yang berjudul :

Nawang Wulan

Dua puluh tahun kemudian
Nawang Wulan terlihat keluar dari keriuhan
Carrefour, mendorong kereta belanjaan
dan menuntun seorang anak umur sepuluh tahunan
Di depan kasa
dikeluarkannya kartu Visa
Rambutnya pendek sekali sekarang
dicat warna biru, hijau dan pirang
Tubuh yang dulu berhias sayap sepasang
telah berubah menjadi pertunjukan lemak 90 kilogram
Ia terlihat sangat riang dan dewasa
tambun dan mempesona
Seperti lukisan Lady Cajica
dalam kanvas Fernando Botero
Dulu aku Jaka Tarub lajang
si pencuri selendang
yang didera cinta
tak terampunkan
Nawang, kebahagiaan macam apa yang telah mengubahmu
dari dewi pencinta menjadi dewi kesuburan?
2005

Perhatikan diksi-diksi tersebut betapa penyair ini pandai memilih kata tepat dengan tema dan lokasi objek di sana-sini, tampak padat berisi, berhamburan reka apresiasi. Selamat buat Cecep Syasul Hari.
(rg bagus warsono , 14-07-16)


Cecep Syamsul Hari (CSH) lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1 Mei, 1967. Buku-buku puisinya yang telah dipulikasikan: Kenang-kenangan/Remembrance (1996), Efrosina/Euphrosyne (2002, 2005), 21 Love Poems: Bilingual Edition (2006), Two Seasons: Korea in Poems Bilingual Edition (2007). Ia juga menulis novel Soska (), cerita pendek, dan esai. Karya-karya dipublikasikan pula pada sejumlah jurnal dan antologi, antara lain: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, di antaranya: Para Pemabuk dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of Bukhari’s hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia menyunting Kisah-kisah Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004). Saat ini, ia adalah redaktur majalah sastra Horison yang berdiri di Jakarta, Indonesia, sejak 1966.

(rg bagus warsono , 14-07-16)

Senin, 06 Juni 2016

Rg Bagus Warsono dalam Rumahku di Tepi Rel Kereta Api



Pengantar Antologi Rumahku di tepi Rel Kereta Api



   Rumahku di Tepi Rel Kereta Api, sebuah antologi puisi yang kaya makna filosofi diketengahkan oleh penyair kita Rg Bagus Warsono sebuah antologi yang memiliki kekhasan tersendiri. Penyair ini mengambil objek sepur sebagai bahan muatan antologi yang memang telah lama akrab bagi masyarakat Indonesia.

   Puisi-puisi Rumahku di Tepi Rel Kereta Api memberikan suguhan puisi yang dapat dinikmati bagi generasi muda khususnya juga semua yng mencintai sastra.

   Ternyata di ‘wilayah sepur terdapat banyak aneka peristiwa dengan pilihan kata yang menarik bagi puisi yang slalu mencari yang terbaru. Rg Bagus Warsono ternyata mampu memotret sepur-sepur Indonesia sebagai inspirasi terciptanya puisi.           Gambaran puisi kini dan masa lalu dirangkum dalam antologi yang mampu berkomunikasi dengan pembacanya.

   Naik kereta api kadang menjadi kerinduan, menyusuri desa-desa, lembah, hutan dan melintas sungai. Lalu singgah di stasiun dan melihat kota-kota kecil yang kini makin ramai. Namun demikian sepur tak pernah macet karena memiliki jalannya sendiri.

   Sepur itu istimewa , di persimpangan jalan raya atau jalan desa ia diberi hak melaju tampa hambatan sedang kendaraan lain di jalan raya atau jalan desa dipalang pintu. Jembatannya pun milik sendiri yang hanya khusus sepur.



Sabtu, 02 Januari 2016

Sebuah Pengantar Antologi Sakarepmu


Sebuah Pengantar Antologi Sakarepmu
oleh Sosiawan Leak

Sakarepmu (bahasa Jawa) secara harafiah berarti “semaumu”, “sesukamu”, atau dalam terjemahan bebas adalah “suka-suka kamu”, “semau-maumu”. Di masyarakat Jawa kata itu sering digunakan sebagai ending pembicaraan manakala seseorang mendapati logika lawan bicaranya telah tertutup dan tidak bisa diuraikan lebih lanjut. Hal itu misalnya terjadi pada orang tua yang menasehati anaknya namun sang anak terus membantah dan tak mengindahkannya. Maka si orang tua dengan jengkel cenderung akan berujar, “Sakarepmu!”
Sebaliknya kata itu juga acap dipakai oleh seseorang yang menyerahkan suatu urusan secara total, menyeluruh, dan tanpa reserve kepada orang lain, yang dengannya mengindikasikan bahwa orang tersebut tidak lagi bakal cawe-cawe dalam proses penyelesaian urusan tersebut hingga purna. Misal ketika seorang caleg menyerahkan segala urusan kampanye kepada tim sukses yang berani menjamin kemenangan sang caleg dalam suatu even pemilu. Ia akan berkata, “Atur sakarepmu!”
Dalam khasanah pergaulan berlatar budaya Jawa kata sakarepmu paling tidak dilahirkan dari dua situasi psikhologis yang ekstrim dan saling bertentangan. Kata itu bisa lahir lantaran rasa frustasi yang luar biasa, buntu logika, dan tak tahu lagi harus berkata apa, atau sebaliknya dapat terlontar dengan rasa ikhlas yang lunas disertai penyerahan diri dan kepercayaan tanpa batas. Barangkali benar pendapat sebagian ahli yang meyakini bahwa kematangan kebudayaan mampu mengakomodir dua ekstrimitas sistim nilai yang (jika dihadap-hadapkan) cenderung kontradiktif bahkan bertolak belakang. Yakni antara sistim nilai yang membangun demi keutuhan dengan sistim nilai yang bernapsu menghancurkan atas nama kecarutmarutan, antara nilai kelembutan dengan nilai kekerasan, antara yang bijak dengan yang banal, serta yang frustasi dengan yang berserah diri sebagaimana dalam sakarepmu itu.
Sisi lain kehidupan kampung di Jawa juga acap menjadikan paradigma sakarepmu malih rupa kreativitas masyarakat dalam mengolah panganan (snack) dari bahan makanan tertentu namun terus dieksplorasi dari waktu ke waktu. Pola pikir itulah yang telah membuat singkong (pohung, bahasa Jawa) ‘dihajar’ habis-habisan lewat proses pengolahan yang aneh namun berkesinambungan. Di hari pertamanya sang pohung paling hanya akan direbus dengan menambahkan sedikit garam. Namanya pun masih bersahaja; pohung! Namun jika tak habis dimakan, sisa pohung rebus itu tak akan disia-sia bahkan bakal digoreng pada hari kedua dengan menambahkan tumbukan bawang putih dan garam sebagai penyedap rasa. Namanya masih tetap sederhana meski kian mentereng; blanggreng! Pada hari ketiga jika si blanggreng tak habis disantap juga, ia bakal ditumbuk dan diberi bumbu baru berupa gerusan bawang putih campur garam dan sedikit merica lantas diberi nama lebih gagah; gandhamana! (mirip nama patih Kerajaan Hastina jaman pemerintahan Pandu, ayah para Pandawa). Jika pada hari berikutnya pun tak lampus pula, gandhamana akan dicincang-cincang dan dicampur dengan bahan makanan lain (ketela, talus, kacang-kacangan) serta diberi racikan bumbu baru lantas digoreng lagi! Namanya lentho!
Maka tidaklah aneh jika akhirnya kita juga mengenal pisang bukan hanya sebagai buah yang disajikan langsung di meja makan tanpa proses pengolahan. Menganut logika sakarepmu pisang juga bisa digodog, digoreng, dikeripik, disale, atau disale sekaligus diproses sebagai manisan (sale basah). Uniknya, konsekwensi logis yang mengikuti proses pengolahan secara sakarepmu itu menuntut orang untuk paham berbagai jenis pisang sesuai karakter rasa dan kemanfaatannya. Hingga belakangan dikonangi hanya pisang kepoklah yang kelezatannya bakal menyempurna manakala digodog atau digoreng. Demikian pula butuh pemahaman atas jenis pisang lainnya yang akan lebih nikmat jika diolah dengan cara tertentu. Sementara untuk pisang yang disajikan langsung pun telah dikenali pula rasa khas dan kegunaannya (pisang susu paling tepat sebagai pencuci mulut, pisang ambon paling sesuai bagi pencernaan bayi sekaligus penopang gizi manakala ia bakal disapih dari air susu ibunya, dan lain-lain). Jadi beda jenis pisang berbeda pula perlakuannya. Intinya pisang boleh diperlakukan semau-maunya meski belakangan muncul prasarat-prasarat tertentu yang tak lagi sekedar sakarepmu!
Demikian pula yang terjadi pada makanan khas Indonesia semacam tempe yang boleh dimasak menjadi tempe goreng, tempe bacem, tempe mendoan, atau tempe keripik. Bahkan luar biasanya tempe bosok (busuk) pun diperlukan keberadaannya untuk dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap rasa. Semuanya sakarepmu, tergantung proses pengolahan dan itikad peruntukannya.
Pola pikir sakarepmu pula yang barangkali melahirkan sayur berjuluk bledhi di beberapa kampung di Jawa. Ia adalah sejenis sayur campuran (dari aneka sayur matang) yang melalui proses panjang lantaran dimasak dan didaur ulang berkali-kali setelah selama beberapa hari tak habis disantap dan selalu dihangatkan agar tak basi. Bledhi adalah semisal sisa oseng-oseng (sayur dominan pedas) di hari Senin, yang dicampur dengan sisa tomis kangkung (sayur dominan manis) di hari Selasa, ditambah sisa jangan gori (sayur nangka muda yang dominan gurih), serta sisa-sisa sayur aneka rasa lain di hari berikutnya, lantas dituang dalam satu panci dan dimasak ulang ditambah bumbu dapur sesuai selera ‘si koki’. Bledhi adalah sayur berbahan ala kadarnya sebagai representasi masyarakat kelas rendah yang memilih gemi (hemat), setiti (senantiasa merumat apa yang telah dimiliki) secara sakarepmu di tengah gempuran modernitas yang hedonis serta kemajuan jaman yang prakmatis.
Apakah dengan latar belakang dan konsepsi sakarepmu semacam itu buku Sekumpulan Puisi SAKAREPMU; 100 Penyair Mbeling Indonesia ini diterbitkan? Apakah antologi ini tidak sekedar mengulangi gejala yang pernah ada dalam sejarah kesusastraan Indonesia?
Agus Warsono (Penyair Indramayu) yang memelopori (sekaligus mendanai) penerbitan buku antologi puisi ini menuliskan sikapnya sebagai berikut. “Sebuah antologi sebagai sekumpulan puisi yang tanggap akan perilaku sakarepmu dewasa ini, sehingga membuat 100 penyair mbeling berbuat sakarepnya dalam memotret perkembangan Indonesia dewasa ini. Menutup tahun 2015 sebagai tahun-tahun pancaroba negeri, puisi-puisi sakarepmu akan mewarnai khasanah sastra Indonesia”. Lebih lanjut menyoal genre puisi yang dia bidik, penggagas dan motor penerbitan Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid 1, 2, dan 3 (2013, 2014, dan 2015) itu tidak memberi acuan khusus tentang model puisi sakarepmu sebagai rujukan konsep puitika maupun latar belakang penciptaan karya. Dia hanya menuliskan, ”Naskah bebas genre, tetapi tidak menunjukan unsur menyinggung pertentangan agama, ras, golongan, suku, serta unsur hujatan pada pribadi/ lembaga. Pendek kata kesemuanya harus masuk dalam koridor Pancasila dan UUD 1945”.
Sebelumnya dalam khasanah sastra Indonesia, meski dengan latar belakang dan konsep eksplorasi yang berbeda-beda paradigma semacam sakarepmu tersebut pernah melahirkan sejumlah gejala anti kemapanan di ranah puitika. Hal itu tergambar lewat gerakan ‘Puisi Mbeling’nya Remy Sylado (tahun 1970-an), penerbitan buku dan pentas keliling ‘Puisi Humor’nya Jose Rizal Manua (tahun 1989), gejala ‘Puisi Balsem’nya Mustofa Bisri (tahun 1991), serta penerbitan sejumlah buku puisi (Kentut tahun 2006, Selingkuh tahun 2008, Ijab Kibul tahun 2013, dan lain-lain) karya Slamet Widodo yang belakangan disebut sebagai ‘Puisi Glenyengan’.
Membaca karya-karya dalam buku ini kita bakal menemukan ‘rambu-rambu’ ke mana ‘Puisi Sakarepmu’ akan menuju. Semoga begitu!

Sosiawan Leak, penyair , budayawan tinggal di Solo