Kamis, 14 Juli 2016

Tak Sekadar Produktifitas Tapi Membuahkan Karya Bermutu, Sebuah sorotan Karya Puisi Terbaik Saat ini

Memilih penyair yang betul betul penyair utuk bahan tulisan seperti yang dilakukan kritikus sebelumnya adalah tidak semata penyair itu produktif tetapi yang diutamakan adalah karya yang memberikan arti bagi pembacanya sebagai karya yang belum ada sebelumnya, memiliki masa baca yang tak terbatas kapan saja tetap enak dibaca, dan memiliki keunggulan nilai sastra, serta mampu memberikan aksi pembaca atau dampak apresiasi pembaca setelah membaca karya tersebut, disamping itu ada yang mengiyakan bahwa karya tersebut layak bacaan sastra yang istimewa.

Produktifitas penyair memang merupakan masa pencarian jati diri. Ia adalah asahan yang membuat tajam nya pena. Serigkali seseorang melupakan tantangan atas tulisan apa yang akan ditulis padahal itu proses berkarya yang telah menjadi perpaduan antar pengalaman diri, pengalaman baca, pengalaman tulisan sebelumnya dan pengalaman kegagalan masa lalu.

Akhirnya faktor kreativitas diri menentukan produk seseorang (penyair) kreativitas untuk melahirkan karya 'baru (belum ada sebelumnya) , memiliki cita rasa sebuah karya sastra bermutu, diiyakan oleh orang lain (diakui), mampu membangkitkan apresiasi pembaca, dan bila perlu bersifat universal.

Berikut sebuah karya Herlina Priyambodo :

"Menjadikanmu Separuh Jiwaku."

Menatap barisan mega dari balik kaca jendela burung besi yang melintas batas antar negara, laksana hamparan permadani empuk tempat bersenda para dewa dewi di negeri kahyangan. Begitu lembut, selembut getar yang kurasa saat menatap sempurnanya wajah Arjuna, seindah senyuman yang selalu memporakporandakan imajiku, hingga menghunjam tepat dijantung hatiku, membiarkan aku luluh dalam dekapan asmara, selembut rasa yang menyapaku perlahan dan tak ingin kutinggalkan. Hanya lidah yang tak pernah kelu, mengalunkan mantra mantra pada sang hyang maha cinta, membisikkan suara suara hati yang melantunkan ayat ayat kerinduan pada sang Arjuna. Izinkan aku membelai halusnya garis wajahmu dan menjadikanmu separuh jiwaku, Arjuna.

Dari judulnya saja seseorang langsung mengetahui maksudnya andai pembaca itu suka membaca. Puisi cinta ,puisi kekasih, puisi kisah cinta, puisi remaja, artinya banyak orang membuat seperti ini. Tetapi Herlina Priyambodo, tidaklah demikian seperti kebanyakan orang, ia membuat sesuatu yang baru yang belum pernah ditulis penyair sebelumnya. Sebuah asahan kreativitas pengalaman dan panduan karakter mumpuni dalam mengutarakan maksud. Selamat untuk Herlina Priyambodo
(rg bagus warsono, 11-7-16)

Bobot karya puisi:

Kritikus/penulis untuk mengkritisi puisi sekaligus merekam jejak penyair adalah apabila ditemukannya karya yang ,menggerigisi . Sebuah karya yang memiliki salah satu atau lebih nilai bermutu tinggi yang monumental.Patokan mutu atas karya seseorang adalah alat untuk mengetengahkan seseorang penyair dimasukan dalam klasifikasi yang dikehendaki kritikus. Jadi karya banyak dan nama besar tidak menjadi jaminan melekat dengan klasifikasi yang digagas seorang kritikus karena pertanggungjawaban itu.

Kelahiran karya puisi bermutu yang 'menggerigisi dan monumental serta memiliki nilai sastra tinggi bukanlah peruntungan nasib penyair dari anggapan publik. Sesungguhnya kelahirian puisi yang bagus adalah olahan dari tingkatan seperti profesional, mahir, atau masih konvensional maupun tradisional. Ia (puisi) dilahirkan dari tangan-tangan itu dengan pengalaman, kreativitas, kebiasaan, dan sebagainya yang mempengaruhi diri penyair tersebut. Kemudian setelah puisi itu lahir kita boleh mengatakannya akan nasib peruntungan karya itu dan tentu terkait dengan penyairnya.

Dalam dunia cipta, ditemukan mirip, tiruan, jiplak, plagiat, sadur, terjemahan, atau 'ubah kata. Hal ini menjadi pemahaman mutlak seorang kritikus. Berbagai kasus bisa terjadi, tetapi juga bisa mungkin berbagai penemuan itu dikarenakan kebetulan atau saling tak mengenal. Tetapi perlu diketahui frase bahasa Indonesia dalam KBBI serta ditopang bahasa daerah dan bahasa asing sangatlah luas untuk pilihan kata puisi. Jadi wawasan baca pun tidak saja harus dimiliki kritikus sastra tetapi juga penyair harus rajin membaca.

Dalam tulisan ini penulis akan menyoroti berbagai karya terkini puisi- puisi penyair yang sempat terbaca dari berbagai situs baca. Juga silahkan Anda mengirimkan puisi 'terdasyat untuk dikritisi semampu penulis dalam wacana belajar ini. Resiko atas kritik puisi sebetulnya tahapan pacu positif bila dipahami secara positif. Tetapi seringkali banyak penyair menilai justru negatif. Sebaliknya gaya kritikus puisi juga menjadi alasan itu. Sebab banyak orang mengaku kritikus tanpa memahami etika penulisan sehingga sering terjadi perdebatan yang tak pantas dikalangan pelaku sastra.
Mari kita lihat karya Cecep Hari Cecep Hari Cecep Syamsul Hari dalam Perahu Berlayar Sampai Bintang yang berjudul :

Nawang Wulan

Dua puluh tahun kemudian
Nawang Wulan terlihat keluar dari keriuhan
Carrefour, mendorong kereta belanjaan
dan menuntun seorang anak umur sepuluh tahunan
Di depan kasa
dikeluarkannya kartu Visa
Rambutnya pendek sekali sekarang
dicat warna biru, hijau dan pirang
Tubuh yang dulu berhias sayap sepasang
telah berubah menjadi pertunjukan lemak 90 kilogram
Ia terlihat sangat riang dan dewasa
tambun dan mempesona
Seperti lukisan Lady Cajica
dalam kanvas Fernando Botero
Dulu aku Jaka Tarub lajang
si pencuri selendang
yang didera cinta
tak terampunkan
Nawang, kebahagiaan macam apa yang telah mengubahmu
dari dewi pencinta menjadi dewi kesuburan?
2005

Perhatikan diksi-diksi tersebut betapa penyair ini pandai memilih kata tepat dengan tema dan lokasi objek di sana-sini, tampak padat berisi, berhamburan reka apresiasi. Selamat buat Cecep Syasul Hari.
(rg bagus warsono , 14-07-16)


Cecep Syamsul Hari (CSH) lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1 Mei, 1967. Buku-buku puisinya yang telah dipulikasikan: Kenang-kenangan/Remembrance (1996), Efrosina/Euphrosyne (2002, 2005), 21 Love Poems: Bilingual Edition (2006), Two Seasons: Korea in Poems Bilingual Edition (2007). Ia juga menulis novel Soska (), cerita pendek, dan esai. Karya-karya dipublikasikan pula pada sejumlah jurnal dan antologi, antara lain: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, di antaranya: Para Pemabuk dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of Bukhari’s hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia menyunting Kisah-kisah Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004). Saat ini, ia adalah redaktur majalah sastra Horison yang berdiri di Jakarta, Indonesia, sejak 1966.

(rg bagus warsono , 14-07-16)

Senin, 06 Juni 2016

Rg Bagus Warsono dalam Rumahku di Tepi Rel Kereta Api



Pengantar Antologi Rumahku di tepi Rel Kereta Api



   Rumahku di Tepi Rel Kereta Api, sebuah antologi puisi yang kaya makna filosofi diketengahkan oleh penyair kita Rg Bagus Warsono sebuah antologi yang memiliki kekhasan tersendiri. Penyair ini mengambil objek sepur sebagai bahan muatan antologi yang memang telah lama akrab bagi masyarakat Indonesia.

   Puisi-puisi Rumahku di Tepi Rel Kereta Api memberikan suguhan puisi yang dapat dinikmati bagi generasi muda khususnya juga semua yng mencintai sastra.

   Ternyata di ‘wilayah sepur terdapat banyak aneka peristiwa dengan pilihan kata yang menarik bagi puisi yang slalu mencari yang terbaru. Rg Bagus Warsono ternyata mampu memotret sepur-sepur Indonesia sebagai inspirasi terciptanya puisi.           Gambaran puisi kini dan masa lalu dirangkum dalam antologi yang mampu berkomunikasi dengan pembacanya.

   Naik kereta api kadang menjadi kerinduan, menyusuri desa-desa, lembah, hutan dan melintas sungai. Lalu singgah di stasiun dan melihat kota-kota kecil yang kini makin ramai. Namun demikian sepur tak pernah macet karena memiliki jalannya sendiri.

   Sepur itu istimewa , di persimpangan jalan raya atau jalan desa ia diberi hak melaju tampa hambatan sedang kendaraan lain di jalan raya atau jalan desa dipalang pintu. Jembatannya pun milik sendiri yang hanya khusus sepur.



Sabtu, 02 Januari 2016

Sebuah Pengantar Antologi Sakarepmu


Sebuah Pengantar Antologi Sakarepmu
oleh Sosiawan Leak

Sakarepmu (bahasa Jawa) secara harafiah berarti “semaumu”, “sesukamu”, atau dalam terjemahan bebas adalah “suka-suka kamu”, “semau-maumu”. Di masyarakat Jawa kata itu sering digunakan sebagai ending pembicaraan manakala seseorang mendapati logika lawan bicaranya telah tertutup dan tidak bisa diuraikan lebih lanjut. Hal itu misalnya terjadi pada orang tua yang menasehati anaknya namun sang anak terus membantah dan tak mengindahkannya. Maka si orang tua dengan jengkel cenderung akan berujar, “Sakarepmu!”
Sebaliknya kata itu juga acap dipakai oleh seseorang yang menyerahkan suatu urusan secara total, menyeluruh, dan tanpa reserve kepada orang lain, yang dengannya mengindikasikan bahwa orang tersebut tidak lagi bakal cawe-cawe dalam proses penyelesaian urusan tersebut hingga purna. Misal ketika seorang caleg menyerahkan segala urusan kampanye kepada tim sukses yang berani menjamin kemenangan sang caleg dalam suatu even pemilu. Ia akan berkata, “Atur sakarepmu!”
Dalam khasanah pergaulan berlatar budaya Jawa kata sakarepmu paling tidak dilahirkan dari dua situasi psikhologis yang ekstrim dan saling bertentangan. Kata itu bisa lahir lantaran rasa frustasi yang luar biasa, buntu logika, dan tak tahu lagi harus berkata apa, atau sebaliknya dapat terlontar dengan rasa ikhlas yang lunas disertai penyerahan diri dan kepercayaan tanpa batas. Barangkali benar pendapat sebagian ahli yang meyakini bahwa kematangan kebudayaan mampu mengakomodir dua ekstrimitas sistim nilai yang (jika dihadap-hadapkan) cenderung kontradiktif bahkan bertolak belakang. Yakni antara sistim nilai yang membangun demi keutuhan dengan sistim nilai yang bernapsu menghancurkan atas nama kecarutmarutan, antara nilai kelembutan dengan nilai kekerasan, antara yang bijak dengan yang banal, serta yang frustasi dengan yang berserah diri sebagaimana dalam sakarepmu itu.
Sisi lain kehidupan kampung di Jawa juga acap menjadikan paradigma sakarepmu malih rupa kreativitas masyarakat dalam mengolah panganan (snack) dari bahan makanan tertentu namun terus dieksplorasi dari waktu ke waktu. Pola pikir itulah yang telah membuat singkong (pohung, bahasa Jawa) ‘dihajar’ habis-habisan lewat proses pengolahan yang aneh namun berkesinambungan. Di hari pertamanya sang pohung paling hanya akan direbus dengan menambahkan sedikit garam. Namanya pun masih bersahaja; pohung! Namun jika tak habis dimakan, sisa pohung rebus itu tak akan disia-sia bahkan bakal digoreng pada hari kedua dengan menambahkan tumbukan bawang putih dan garam sebagai penyedap rasa. Namanya masih tetap sederhana meski kian mentereng; blanggreng! Pada hari ketiga jika si blanggreng tak habis disantap juga, ia bakal ditumbuk dan diberi bumbu baru berupa gerusan bawang putih campur garam dan sedikit merica lantas diberi nama lebih gagah; gandhamana! (mirip nama patih Kerajaan Hastina jaman pemerintahan Pandu, ayah para Pandawa). Jika pada hari berikutnya pun tak lampus pula, gandhamana akan dicincang-cincang dan dicampur dengan bahan makanan lain (ketela, talus, kacang-kacangan) serta diberi racikan bumbu baru lantas digoreng lagi! Namanya lentho!
Maka tidaklah aneh jika akhirnya kita juga mengenal pisang bukan hanya sebagai buah yang disajikan langsung di meja makan tanpa proses pengolahan. Menganut logika sakarepmu pisang juga bisa digodog, digoreng, dikeripik, disale, atau disale sekaligus diproses sebagai manisan (sale basah). Uniknya, konsekwensi logis yang mengikuti proses pengolahan secara sakarepmu itu menuntut orang untuk paham berbagai jenis pisang sesuai karakter rasa dan kemanfaatannya. Hingga belakangan dikonangi hanya pisang kepoklah yang kelezatannya bakal menyempurna manakala digodog atau digoreng. Demikian pula butuh pemahaman atas jenis pisang lainnya yang akan lebih nikmat jika diolah dengan cara tertentu. Sementara untuk pisang yang disajikan langsung pun telah dikenali pula rasa khas dan kegunaannya (pisang susu paling tepat sebagai pencuci mulut, pisang ambon paling sesuai bagi pencernaan bayi sekaligus penopang gizi manakala ia bakal disapih dari air susu ibunya, dan lain-lain). Jadi beda jenis pisang berbeda pula perlakuannya. Intinya pisang boleh diperlakukan semau-maunya meski belakangan muncul prasarat-prasarat tertentu yang tak lagi sekedar sakarepmu!
Demikian pula yang terjadi pada makanan khas Indonesia semacam tempe yang boleh dimasak menjadi tempe goreng, tempe bacem, tempe mendoan, atau tempe keripik. Bahkan luar biasanya tempe bosok (busuk) pun diperlukan keberadaannya untuk dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap rasa. Semuanya sakarepmu, tergantung proses pengolahan dan itikad peruntukannya.
Pola pikir sakarepmu pula yang barangkali melahirkan sayur berjuluk bledhi di beberapa kampung di Jawa. Ia adalah sejenis sayur campuran (dari aneka sayur matang) yang melalui proses panjang lantaran dimasak dan didaur ulang berkali-kali setelah selama beberapa hari tak habis disantap dan selalu dihangatkan agar tak basi. Bledhi adalah semisal sisa oseng-oseng (sayur dominan pedas) di hari Senin, yang dicampur dengan sisa tomis kangkung (sayur dominan manis) di hari Selasa, ditambah sisa jangan gori (sayur nangka muda yang dominan gurih), serta sisa-sisa sayur aneka rasa lain di hari berikutnya, lantas dituang dalam satu panci dan dimasak ulang ditambah bumbu dapur sesuai selera ‘si koki’. Bledhi adalah sayur berbahan ala kadarnya sebagai representasi masyarakat kelas rendah yang memilih gemi (hemat), setiti (senantiasa merumat apa yang telah dimiliki) secara sakarepmu di tengah gempuran modernitas yang hedonis serta kemajuan jaman yang prakmatis.
Apakah dengan latar belakang dan konsepsi sakarepmu semacam itu buku Sekumpulan Puisi SAKAREPMU; 100 Penyair Mbeling Indonesia ini diterbitkan? Apakah antologi ini tidak sekedar mengulangi gejala yang pernah ada dalam sejarah kesusastraan Indonesia?
Agus Warsono (Penyair Indramayu) yang memelopori (sekaligus mendanai) penerbitan buku antologi puisi ini menuliskan sikapnya sebagai berikut. “Sebuah antologi sebagai sekumpulan puisi yang tanggap akan perilaku sakarepmu dewasa ini, sehingga membuat 100 penyair mbeling berbuat sakarepnya dalam memotret perkembangan Indonesia dewasa ini. Menutup tahun 2015 sebagai tahun-tahun pancaroba negeri, puisi-puisi sakarepmu akan mewarnai khasanah sastra Indonesia”. Lebih lanjut menyoal genre puisi yang dia bidik, penggagas dan motor penerbitan Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid 1, 2, dan 3 (2013, 2014, dan 2015) itu tidak memberi acuan khusus tentang model puisi sakarepmu sebagai rujukan konsep puitika maupun latar belakang penciptaan karya. Dia hanya menuliskan, ”Naskah bebas genre, tetapi tidak menunjukan unsur menyinggung pertentangan agama, ras, golongan, suku, serta unsur hujatan pada pribadi/ lembaga. Pendek kata kesemuanya harus masuk dalam koridor Pancasila dan UUD 1945”.
Sebelumnya dalam khasanah sastra Indonesia, meski dengan latar belakang dan konsep eksplorasi yang berbeda-beda paradigma semacam sakarepmu tersebut pernah melahirkan sejumlah gejala anti kemapanan di ranah puitika. Hal itu tergambar lewat gerakan ‘Puisi Mbeling’nya Remy Sylado (tahun 1970-an), penerbitan buku dan pentas keliling ‘Puisi Humor’nya Jose Rizal Manua (tahun 1989), gejala ‘Puisi Balsem’nya Mustofa Bisri (tahun 1991), serta penerbitan sejumlah buku puisi (Kentut tahun 2006, Selingkuh tahun 2008, Ijab Kibul tahun 2013, dan lain-lain) karya Slamet Widodo yang belakangan disebut sebagai ‘Puisi Glenyengan’.
Membaca karya-karya dalam buku ini kita bakal menemukan ‘rambu-rambu’ ke mana ‘Puisi Sakarepmu’ akan menuju. Semoga begitu!

Sosiawan Leak, penyair , budayawan tinggal di Solo







Selasa, 22 Desember 2015

Dari Patpat Gulipat sampai Dagelan, oleh Rg Bagus Warsono

Dari Patpat Gulipat sampai Dagelan
Menyorti puisi Sekarepmu bukan hal yang biasa seperti pada puisi-puisi dengan tema lain. Sakarepmu dalam antologi ini memiliki keragaman isi karena ‘sekarepnya itu. Beberapa puisi tampak menggoda karena ada beberapa puisi yang diangkat dari tema yang lagi hangat di tahun 2015 tetapi ada beberapa puisi yang memiliki kekuatan yang tidak saja hangat pada tahun ini tetapi selalu ‘panas sepanjang masa. Kepiawaian penyair Sakarepmu akan ditemukan pada penyair-penyair yang tak asing bagi pecinta sastra khususnya puisi.
Ada beberapa puisi yang sanggup mencegah utuk tidak berhenti mengapresiasi dalam buku ini, tetapi yang mengupas puisi akan terpana bila menemukan syair yang menawan dipandang. Puisi Sakarepmu telah memberikan warna tersendiri dalam belantara sastra Indonesia terkini. Mari kita buktikan keistimewaan itu dengan apresiasi ‘sakarepmu.
Penyair Aan Jasudra, Agustav Triono, Ali Syamsudin Arsi, Aloeth Pathi, Anggi Putri menyuguhkan beragam tema menarik, sedangkan penyair Anggoro Suprapto, Arif Khilwa dan Ary Sastra tampak memberikan warna penghangat puisi yang membuka buku ini semakin menarik. Anggoro Suprapto dalam puisi Pahlawan Gembus (1) dan (2)//............/Sampai akhirnya datang seorang rahib buta/Negerimu belum merdeka, katanya/Rakyat jatuh dari mulut singa masuk ke mulut buaya/Jika dulu dijajah orang-orang asing/Sekarang dijajah bangsa sendiri/...//. Pahlawan Gembus (2)//..../Angin pun bertiup pelan/Udara mengabarkan/Di negeri ini atas nama rakyat/Muncullah para pahlawan/Mengaku membela kebenaran/Mengaku membela nusa bangsa/Tapi sesungguhnya mereka cidra/Hanya pahlawan gembus/Bicaranya nggedebus/Perilakunya ubas-ubus/Mlekethus//. Arif Khilwa penyair kelahiran Pathi pada puisi Senayan Beronani//.../Biarkan kelaminmu dikebiri/Air mani akan terus mengalir/Rahim bumi akan mengandung/Lahirkan generasi baru/Yang mampu teruskan Aumanmu/Sebelum mereka ditikam berita.//Ary Sastra penyair Padang dalam Negeri Patpatgulipat//.../di negeri patpatgulipat/banyak yang mengaku bermartabat/pura pura pegang amanat/eh tak tahunya penjahat/.../di negeri patpatgulipat/semuanya mengaku atas nama rakyat/
bergaya seperti ustad/uang rakyatpun disikat/...//.
Pada puisi-puisi Buana K.S, Budhi Setyawan tidak kalah menariknya, sedang Dasuki Kosim dengan Ada Google Traslate di Gedung DPR memberi warna Sakarepmu kehangatan itu. Mari kita lihat puisi Dasuki Kosim : Ada Google Traslate di Gedung DPR//Merubah bahasa rakyat /pengamat politik atau pakar universitas/Oleh corong mikrofun/Dimeja dewan , sehingga A jadi B dan kemudian A lagi lalu C/Google Traslate di Gedung DPR bicara sendiri/Lalu diamieni/...// dan perempuan penyair Denis Hilmawati juga bertutur tentang Perjalanan Panjang-nya.
Diah Natalia, Eddie MNS Soemanto, Eri Syofratmin dan Fernanda Rochman Ardhana serta Fitrah Anugerah memberikan judul-judul puisi yang menarik lagi.Berikut beberapa cuplikannya : Diah Natalia perempuan penyair kelahiran Jakarta pada puisi Sederhana//....../Kepada pezina bangsa,/Haruskah lebih banyak darah yang mengalir agar kita tahu betapa merahnya bendera kita?/Haruskah lebih banyak kain kafan, agar kita tahu betapa putih bendera kita?/Sederhana saja,/Jagalah impian kemerdekaan/Jadikan bangsa ini mumpuni/Damai dalam ahlak kesantunan/
Sejahtera dalam kemandirian//.Eddie MNS Soemanto pada puisi berjudul Sakarepmu penyair kelahiran Padang ini mengungkap bagaimana kemunafikan manusia , berikut cuplikannya://......./maka teruslah kamu bicara/teruskan puja-pujimu kepada pekerjaanmu/kepada pimpinanmu/ sementara puja-pujimu kepada Tuhan/
hanya mungkin, diletakkan sebagai pemanis/ karena itu semua gak ngaruh/
dengan sikap dan omonganmu/...// Eri Syofratmin penyair dari Muara Bungo pada puisi Ulat Bulu :puisi pendek yang sarat makna//Meraba satu/satu kena/kena semua/miyang/di garuk satu/satu kena/kena semua/gatal/dasar ulat bulu/menyebar di helai-helai/kebencian dan kedengkian//.Fernanda Rochman Ardhana kelahiran Jember pada puisi Sajak Penutup, berikut cuplikanya//../dari semok pantatmu kami kian mencumbui tanya://.........../“Inikah pemuas birahi yang Tuhan sajikan dari surga-Nya?”/hanya saja kami tak dapat nikmati, dari balik tudung/rambutmu berbiak di puncak alam pikir/lurus ataukah berkelok, hingga mampu mengumbar amal/bagi kami, lelaki penuh makrifat//.
Fitrah Anugerah penyair kelahiran Surabaya menulis Pada Celana Dalamku//..../Aku meluapkan kidung kegembiraan./ Aku menjerit pada ombak ganas.Tenggelam aku pada palung terdalam. /Agar ikan-ikan menemui tubuhku/Kau tahu akan kembali padamu pagi nanti di pinggir dermaga/Kau akan melihat ikan-ikan kecil terkumpul dalam celana dalam/Dari tubuhku kaku tak bernama//.Penyair Fitriyanti , Gampang Prawoto, Gunta Wirawan menambah semaraknya Sakarepmu, berikut cuplikannya: Kesunyian (Fitriyanti)//...../Walau hari-hariku tetap sendiri/Nan jauh dari ramainya perkotaan /Yang entah sampai kapan kan berakhir/ Tapi ku harus tetap tegar / Yah..tegar untuk jalani hidup /Sebagaimana yang sudah ditakdirkan Sang Pencipta//.
Sedang Gampang Prawoto penyair Bojonegoro menulis Sarijah Gadis Virtual
/...// batubatu beterbangan/membelah membutir kerikil/merias wajah semolek debu/
menghampiri celah dinding/dinding halus kuning langsat/Si cantik "Sarijah" gadis lugu/
lahir di desa tanpa listrik, sumur dan wc/besar di metropolitan/berseliweran mobil mewah/berbaju tak berkutang, berkutang tak berbaju/menjulang tinggi apartemenmewah berkemul kaca/berpenghuni tanpa katepe dan surat nikah/...//.
Gunta Wirawan penyair kelahiran Singkawang Kalimantan Barat menulis Surat Terbuka Untuk Asap//...../Asap/Kamu itu ya/tempingal1 alias bengal/Sudah berapa kali aku bilang/Jangan cemari udara di negeriku ini/Jangan sesakkan napas anak-anak kami//......../ Di Kalimantan/Orang utan dan bekantan kena isap/Napasnya turun-naik, berbunyi sit sit/Sebagian asmanya kambuh, sebagian batuk darah/Sebagian mati/................/Bukan salah pengusaha, bukan salah penguasa/Bukan karena rakyat durhaka/Sebab tabiat maksiat, tabiat manusia:/Urusan hutan terbakar, terbakarlah saja/Jangan pula kau yang mengambil kesempatan/Menari-nari di atas penderitaan kami/Menyebarkan dirimu di seantero negeri/..........//.
Harkoni Madura dalam Tilawah Tanah Air, Haryatiningsih dalam Rekaman Maling, Hasan Bisri BFC dalam Nenek, Nikita, dan Permen Itu, berikut cuplikannya Harkoni Madura penyair asal Sampang Madura pada Tilawah Tanah Air : //....../menilawah tanah air/yang kumandang bukan kidung, bukan tembang/tapi erang sengangar umpatan/atas nama luka sayat kemanusiaan/yang sempoyongan, dan pingsan di hutan-hutan/ //menilawah tanah air/serasa dipupur,intrik,teror,persibakuan/dan sengkarut persekongkolan/,,,//. Haryatiningsih bicara Rekaman Maling//...../Ada maling bicara maling/Direkam oleh maling/Maling dan maling direkam/Karena kemalingan//. Sedang Hasan Bisri BFC menyuguhkan puisi yang sangat menarik
berudul :Jangan Salahkan Aku.
Helmi Setyawan dengan Aku ini Guru, Heru Mugiarso pada Apa Agamamu menambah gairah pembaca //.../Meja kursi apa agamamu/kok setiap malam/tak pernah membaca kitab suci/Kelamin, apakah agamamu/mengapa tak berzikir/setiap kali bercinta/Apa agamamu/Mengapa tak sembahyang/jiwamu?//. Iis Sri Pebriyanti perempuan remaja penyair asal Indramayu di judul Pagi Hari//....../Dengan perasaan bahagia/Dan berharap hari ini akan lebih baik/Dari hari-hari sebelumnya//. Jen Kelana penyair dari Nganjuk menulis , Kuteriakkan Hujat, Muhammad Lefand dari Sumenep menulis pada Matra Sang Presiden Bukan Penyair. Marsetio Hariadi pada Cinta Melulu, juga bagus disimak kita lihat ://seperti kucing anggora saja/seperti hamster saja/seperti cihuahua saja/yang takut melihat banyak anjing lapar di jalanan/Cinta memang bangsat/.....//. Nanang Suryadi penyair dari Serang menulis Dongeng, Penyair Kok Mendongeng?//......./“kasihan kau penyair, sibuk dengan imajimu sendiri.” katanya kepada cermin, selesai mandi/ia membeli yoyo, dari pasar malam. ...........//.
Kemudia kita lihat berikutnya, Navys Ahmad pada puisi Negeri Parahdoks
//di negeri ini/hutan-hutan kita paru-paru dunia/paru-parunya terbakar marahlah dunia/.../.../di negeri ini/orang bijak bayar pajak/sudah bayar malah dibajak/...//.
Novia Rika dengan “Puncak Cinta”-nya. Berikut cuplikan Puncak Cinta itu //......./Buat apa kau bakar nafsumu/Pada ilusi secerah warna mentari/Paha-paha terbuka/Dada-dada menggoda/Bibir-bibir merona/Tak 'kan mengajarkanmu cinta/Cinta tertinggi ada pada wanita/Yang mengendapkan cintanya dalam hati/Membiarkannya perih/'Tuk membuka jiwa yang murni//.
Nunung Noor El Niel penyair kelahiran pada puisi berjudul “Sampah”
//.../seperti sampah yang membusuk /menjadi timbunan-timbunan menyengat /
hanya untuk penampungan hasrat /ingin tumbuh subur sebagai benalu /
yang dipupuk dengan hujatan-hujatan/....//. Nur Fajriyah peyair muda asal Indramayu pada puisi Punggung yang Pergi (Ayah) menarik juga untuk direnungkan , sedang Osratus penyair Purbalingga yang tinggal di Sorong dalam puisi “Sebungkus Protes Rebus (untuk diriku)”/....// Halilintar, menyambar teko egoku/ Tutup telinga tutup hati, tidak mau aku/Mungkin, dia ingin mengatakan sesuatu/ Tapi usai berkoar, sembunyi di ketiak soreku/ Kapan kita duduk bersama, halilintarku?/...//. Rini Garini perempuan penyair ini menulis Dongeng Sebelum Tidur berikut cuplikannya ://.../Tikus-tikus beranak pinak /Layaknya gelombang pasang mereka berarak-arak /Mereka tak tahu lagi pijakan dan kehilangan pandangan/tikus berubah jadi buaya yang menakutkan / Jaring-jaring kata menjadi siloka yang tak bisa diterka/cicak-cicak selalu usil mengawasi gerak-gerik mereka/ perseteruan makin bergelora dan penuh prasangka/ Kedua belah pihak saling memasang perangkap./Kata-kata tak pernah senyap./Riuh suara-suara dalam udara pengap//.
Riswo Mulyadi penyair dari Banyumas juga menulis tentang guru dalam puisi Doa Seorang Guru di Hari Guru//.../Tuhan, karuniai aku ilmu yang dapat kuberikan di sisi amalku/sedikit saja, tak apa/asalkan mereka tercahayai/Tuhan, jangan tunjukan pada muridku, lauk yang kusantap/biarkan mereka melahap sarapan paginya dengan nikmat/agar di kelas mereka tetap semangat/...//. Riza Umami penyair muda belia dari Indramayu dalam Anugerah Tuhan//.../Pahamilahh./Resapilahh.. /Tuhan begitu adil /dan pada akhirnya /Semua yang kita lakukan akan mendapat balasanNya / Balasan yang begitu bijak /bijak dari apa yg kita perbuat /dan Tuhan akan tunjukkan kasih sayangNya.//.Sahadewa penyair dari Kupang menulis puisinya berjudul “Apa itu yang berbeda” berikut petikannya://.../Apa itu yang berbeda/Aku berkulit legam eksotis/sedang kulitmu bagai dipernis/Mulutku merah karena sirih pinang/sedang bibirmu bergincu bersulam benang/...//.Samsuni Sarman Penyair dari Banjarmasin menulis puisinya yang apik berjudul Percakapan di Runway//..../Maaf, saya ke Amrik bukan untuk selfi kok/cuma belajar bagaimana mengatur tambang emas di Papua/dan beberapa tambang minyak di lepas pantai/tentu untuk masa depan investasi yang lebih baik/dan saling menguntungkan, ya kan/...//.
Slamet Widodo penyair Solo yang bermukim di Jakarta pun menulis “Republik Dagelan” untuk Sakarepmu ini //.../...//Yang Mulia ............hamba saluut keberanian Paduka/melanggar etika dengan santun didepan mata/ hamba saluud keberanian paduka/mempertontonkan opera sabun dengan telanjang/hamba saluud keberanian paduka/melecehkan rakyat dengan tegas lugas dan tega/Yang Mulia ......../hamba salud keberanian paduka/berani dimaki .... berani dikutuk / berani diludahi .... berani dibajing bajingkan/ tak semua orang punya mental seperti paduka/bisa ceria menutup mata /....//. Sokanindya Pratiwi Wening dari Aceh di puisi “Indonesia Sakit” berikut cuplikan syairnya ://..../kalau para yang mulia itu sakit/aku juga sakit/sakit jiwa!/dulu memilih para pencoleng itu/mencoleng harta ibunya sendiri...!//.
Sunaryo JW dari Padang Lawas Utara dalkam puisinya “Sajak Tong Kosong”
//.../Ini adalah kaki yang lelah berjalan/Mendaki gunung, menyeberang lautan/
Mencari emas, menangkap ikan/Tapi kau kubur dan kau tenggelamkan./
Kau rekreasi ke luar negeri./Kami mati,/Kau menikmati selangkangan lagi!/.../
.../Begitulah kini Indonesia!//.
Sus S . Hardjono penyair dari Sragen menuturkan tetang” Candi”, sedangkan Suyitno Ethex menulis “Telatah Mojopahit”
//.../orang-orang salah kaprah mau benar sendiri/tak ada yang mau merasah salah, bila membohongi/hanya karena ingin kepuasan cepat tersaji/kalau semua sakarepe, jangan keblablasan/hingga lupa sejarah peradaban/yang susah, yang ditinggalkan/
karena bukan jamannya yang edan/tapi manusianya yang kehilangan/olah pikir yang keblablasan//. Tonganni Mentia perempuan penyair ini menulis “Pedati Senin Pagi” sedang perempuan penyair lainnya Tutik Hariyati S asal Sumedang menulis puisi “Siapa Mau Bicara Pertama”//.../Ketika keluarga makan bersama/Siapa mau bicara pertama/Besok besok /Berjalan apa adanya saja/Bu kenapa menu tak seperti biasa.//.
Ustadji Pantja Wibiarsa dalam Pelangi Jatuh, seperti cuplikan tulisannya :
//..../di dalam rumah, di pringgitan, di pendapa, di pelataran
di gapura, di jalan, di hati nurani orang-orang bermata tajam
tahukah kau, pelangi itu sedang dalam perjalanan
mengemban tugas dari penciptanya dengan misi penyelamatan
menyebarkan pengetahuan tentang perawatan dan pelestarian/........//.
Wadie Maharief penyair dari Yogyakarta mengungkap “Guru” dalam puisinya berikut cuplikannya: //....../Aku telah lama jadi bekas murid/tapi kau mungkin sudah jadi pensiunan guru/Kau tidak diingat ketika bekas muridmu jadi orang hebat/
kaya raya dan terkenal,/ tentu ini yang kau inginkan pada setiap muridmu/
Kau tidak salah ketika bekas murid ada yang jadi maling,/copet atau koruptor dan bahkan teroris, /ini pasti tidak pernah kau inginkan pada setiap muridmu/...//.
Wahyu Hidayat peyair dari Telagasari, Kepada Mantan berikut cuplikannya.
//.../aku telah menjadi debar yang lain bagimu. /dan sesungguhnya hujan dan malam tak perlu lagi kaurindukan,/jika semata mereka adalah jembatan untukmu mengingat masa lalu. /...//. Wans Sabang penyair dari Jakarta menulis “Segeralah Ajal!”
"Ajal, apa orang mau mati masih perlu bantal dan guling?" Di temani bantal-bantal empuk beserta guling gemuk berisi bulu-bulu angsa. Selang inpus meringkuk di ranjang tidur. Sering kusebut sebuah nama. Entah nama siapa? Yang jelas bukan nama Tuhan. Sementara para iblis dan malaikat menunggu di ruang tamu, berebut untuk saling merenggut ruh yang telah lama ku simpan di palung tubuh./ ...//. Wardjito Soeharso, peyair dan Budayawan asal Semarang memberi puisi berjudul ”Main Bermain” //.../Bermain tali/: terjerat/Bermain mata/: dusta/Bermain gila/: lupa keluarga/Bermain cinta/: duh, indahnya.//. Tampaknya Wardjito terinspirasi filosofi Jawa yang sering diungkapkan dalam keseharian yang kadang dilupakan, padahal jika direnungkan dapat sebagai pegangan dalam melangkah, keunggulan puisi ini adalah susunannya dimana baris-baris terakhir adalah sebuah klimak yang membuat penutup puisi tersenyum. Karakter Wardjito yang melekat adalah gemulainya puisi, meski pesan kadang 'mendobrak tetap memiliki keindahan puisi.
Wirol Haurissa penyair asal Ambon berjudul “Tamu” ciplikannya sebagai berikut ://.../aku turun bawakan oleh-oleh/sebuah lautan dan gunung dari sebarang/
jawabmu terserah /aku terima dengan kehangatan/seperti matahari tumbuh di atas pagi/kau berbisik, berikan padamu/aku jawab terserah/...//. Kemudian Yuditeha penyair asal Solo pada puisi “Reshuffle Kebelet” meulis ://.../suara klakson memantul di tembok ruang/dan sebagian serpihannya menancap ke daun telinga/membakar niat hingga menghanguskannya/barisan mata berlomba menonjolkan biji-bijinya/bernapsu memenangi sesuatu/yang sebenarnya bisa diurai damai/...//. Zaeni Boli peyair kelahira Flores yang bermukim di Bekasi ini pun turut dalam puisinya Tanggal yang Keliru, seperti cuplikaya: //Menjadi beling di matamu/Yang tajam dan indah adalah tatapan/Yang kanan dan kiri dalam ingatan adalah senyum/Dena/Bunga mekar/Kembang kuncup/Juga jamur di atas tai kebo/Adalah layang-layang putus dari imajinasi hari sabtu/...//.
Keragaman puisi-puisi Sekarepmu memiliki kesan yang sama yakni sebuah kecintaan terhadap negeri ini , tetapi ada yang menyoroti tentag guru ,tentang alam, tentang kesendirian, tentang cinta, bahkan tentang gagasan antologi ini, yang diungkapkan dalam bahasa penyair tersendiri dengan berbagai sifat ungkapan yang dikemas pada frase-frase pilihan sehingga merupakan diksi yang membawa puisi itu menarik dibaca.
Tiada adil jika mengupas beberapa puisi sakarepmu, dengan berbagai sudut pandang, apalagi satu –persatu , hanya sebuah pembuka sakarepmu agar menjadi kenangan indah. Apresiasi selanjutnya tentu pada pembaca, puisi-puisi Sakarepmu sangat menghibur dan makna yang luas.
Akhirnya kita dapat menangkap bahwa sesungguhnya telah terjadi protes terhadap apa yang tidak selaras dalam kehidupan di republik ini yang diungkapkan bahasa penyair dalam bahasa puisi. Dan penyair hanya bisa berharap dan memberikan sumbangsih untuk penyelamatan ruh negeri ini.
Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM tinggal di Indramayu.17-12-2015